Selasa, 15 Januari 2019

Night Before Day after

Malam itu, terlalu banyak hal pertama yang aku lakukan.
Aku pesta usai UAS untuk pertama kali.
Clubbing pertama kali. Mabuk pertama kali. Dan lepas kontrol untuk pertama kali.

Aku ingat teman pria ku yang kusukai, mendekatiku saat aku sedang mabuk. Aku sedang menari tidak jelas di atas sofa. Waktu dia berdiri cukup dekat, aku melingkari tanganku di lehernya. Dia sangat tinggi, bahkan walau aku sudah berdiri di sofa pun aku hanya lebih tinggi sedikit dari dia.

Aku ingat aku menundukkan kepalaku dan mencium bibirnya. Entah berapa lama, aku tidak tahu. Tapi aku ingat, wajahnya juga panas, mungkin dia juga mabuk?

Dia kemudian menurunkanku dari sofa, lalu membopongku keluar dari klub itu.

" kami pergi dulu, aku akan mengantarnya pulang " katanya.

Sedangkan aku hanya ketawa tidak jelas ke arah teman dan senior ku sambil melambaikan tangan. " Sampai jumpa " ucapku, mungkin. Aku tidak ingat.

Tidak ada bus, atau kereta yang beroperasi di malam selarut ini, dan tempat tinggalku cukup jauh dari area ini.

Bagaimana aku sampai rumah? Apakah dia memanggil taksi? Atau jalan kaki sampai rumah? Bahkan, apa dia tahu alamat ku? Aku tidak tahu.

Tapi satu hal yang aku tahu, aku bangun diatas tempat tidur nyaman, dibalik selimut hangat. Tapi bukan punya ku.

Kesadaranku kembali setengah saat tahu aku bukan di kamarku sendiri. Mata ku dengan bingung mengelilingi ruangan yang asing ini.

Sepertinya kamar studio. Aku mendengar suara mesin cuci dan suara langkah kaki ke arah ku.

" Ivy, kau sudah bangun ? " tanya Warren, nama teman pria yang kusukai itu.

" Oh, bagaimana aku bisa sampai sini? " aku balik bertanya.

" Berpakaianlah " ucapnya.

Aku spontan mengintip di balik selimutku, mendapati aku tidak mengenakan apapun. Bahkan pakaian dalamku. Mendadak jantung ini berdetak lebih kencang, gugup karena memikirkan yang tidak tidak.

Kecurigaan kembali saat aku melihat pakaian dalamku di ujung tempat tidur. Tapi aku tidak menemukan bajuku.

" Warren, apa yang harus ku pakai? Di mana bajuku? " tanyaku

" Bajunya ku cuci, kotor bekas muntah. Kau bisa pilih salah satu yang ada di lemari ku. " jawabnya

Setelah memakai pakaian dalamku, aku membuka lemari bajunya mengambil kaos nya dan celana pendek.

Besar sekali, pikirku saat melihat ukuran baju dan celananya. Terasa seperti di film - film yang para wanitanya memakai pakaian pacarnya saat menginap. Tak disangka aku akan mengalaminya.

Selesai berpakaian, aku mendekati ruang makan kecilnya. Warren sedang menyiapkan mi instan dan telor setengah matang.

Dengan kikuk, gugup aku mendekati meja makan dan duduk.

" Bisa kita bahas apa yang terjadi kemarin ? " tanya ku sambil tersenyum kaku.

Warren meletakan 2 cup mi instant dan telur setengah matang kemudian bergabung denganku di meja makan.

" Kamu tidak ingat ? " tanya nya.

Aku menggeleng. Warren menghela nafas.

" Sepertinya aku akan mulai dari awal "

                        ***********

Malam itu, malam yang berbeda dari biasanya. UAS sudah selesai dan beberapa teman serta senior sepakat untuk "berpesta" kecil untuk merayakannya.

Seorang gadis yang sudah kuperhatikan sejak awal semester mengajakku. Gadis itu, ceria, manis, supel, namanya Ivy. Dia bilang padaku ini akan menyenangkan. Dia ingin merasakan klubbing karena belum pernah. Semakin ramai semakin asik dan aman katanya.

Untuk bisa bersamanya aku tentunya setuju untuk ikut. Sekalian jaga - jaga supaya dia tidak kena masalah.

Tapi masalah selalu muncul setelah dia masuk ke klub itu.

Para senior membuka meja dan mengundang hanya anak gadis untuk duduk dengan mereka. Tentu saja Ivy termasuk di antaranya, dia anak yang cukup manis. Ivy menatapku saat dia didesak oleh para senior itu. Seperti meminta bantuan. Tapi aku malah memberi kode untuk pergi saja dengan mereka.

Aku mengawasinya dari kejauhan. Mungkin karena sepaket dengan area duduk mereka, botol minuman keras dibuka. Bermain truth or dare. 1 botol demi 1 botol di buka. Dan satu persatu sudah mulai mabuk, tak terkecuali Ivy.

Dia bahkan hanya minum sedikit. Aku baru tahu dia tidak kuat minum. Aku masih hanya memperhatikan.

Namun semakin larut, para senior pria mulai memegang - megang Ivy. Sebentar di pipi, sebentar di bahu, sebentar di pinggang.

Tak sadar, aku mendekati mereka, mendengarkan pembicaraan mereka.

Permainan Truth or Dare masih berlanjut. mulut botol kosong yang selesai berputar menghadap ke arah Ivy.

" Truth or Dare, Ivy ? " teriak Sandy, senior kami.

" Dare !!! " teriak Ivy .

Sorakan dan tepuk tangan terdengar usai Ivy berteriak. " Cium ko Sandy !!! " teriak yang lain. Lalu di sahuti sorakan setuju.

Sandy tersipu malu mendengar Dare itu. Tapi melihat ekspresinya aku tahu dia berharap.

" Ah, jangan begitu. " ucap Ivy sambil tertawa kecil. " Ciuman itu buat yang disukai. " tambahnya. " Sebagai gantinya, aku akan menari ! "  sarannya.

" Boooooo " seru mereka.

Tanpa peduli, Ivy naik ke atas sofa menari. Jelek sekali tariannya. Lalu matanya menemukan ku  berada tidak jauh.

Ivy menunjuk ke arahku " Itu dia orang yang kusuka ! " katanya. Spontan aku mendekat. Spontan juga dia memeluk leherku dan menciumku.

Jantungku berdebar kecang rasanya, darahpun terasa mengalir deras. Aku balas memeluk pinggangnya. Kami berciuman di muka umum beberapa saat.

Melihat wajah kecewa Sandy, hati ini terasa puas. Rasa kesal karena sedari tadi melihat Ivy di sentuh olehnya sedikit sirna.

Aku melepas ciuman dan berpamitan dengan orang disekitar " kami pergi dulu, aku akan mengantarnya pulang "

" Sampai jumpa " pamit Ivy sambil cekikikan.

Angin malam terasa lebih segar ketimbang klub yang baru kami tinggalkan. Tugasku membawa keluar Ivy sudah selesai. Sekarang tinggal mengantarnya. Aku tidak tahu di mana dia tinggal, dia pun menjawab dengan tidak jelas.

Jadi ku pikir bila kubawa ke apartemenku tidak akan jadi masalah. Aku memanggil taksi. Kami tiba di apartemen.

Ivy yang setengah sadar kubaringkan ke tempat tidur. Masalah sudah selesai ? Oh, tentu saja tidak. Dari sana muncul masalah baru.

Ivy menarik kerahku, mencium lagi. Mulutnya beraroma alkohol. Sekejap nafsu seorang lelaki bangkit. Dan aku melakukan hal yang "biasanya" lelaki lakukan bila dihadapkan pada situasi ini.

" This is my first time, treat me nicely. " ucapnya sambil tersenyum. Memberi lampu hijau. Aku melaju sesuai tanda yang diberinya.

Dia melepas bajunya. Begitu juga aku. kadang aku membantunya begitu pula sebaliknya. Hingga kami siap ke babak selanjutnya.

Setiap sentuhan tangan dan bibirku di kulitnya, dibalas suara desahan yang lama - lama semakin pelan hingga hilang sama sekali.

Penasaran, aku mencari tahu apa yang terjadi. Ivy tertidur. Aku tersadar. Tanganku spontan menampar diri sendiri.

Gila, kau. Mau kau apakan anak orang. Ucapku dalam hati.

Sambil berbaring miring di sampingnya. Aku membelai rambutnya, mencium keningnya, menyelimutinya dan mengucapkan selamat malam. Entah apa yang akan dia pikirkan esok hari.

Malam itu pertama kali aku membawa pulang gadis. Pertama kali ditembak, digoda dan dicobai untuk melakukan sesuatu. Dan tak jadi. Malam itu menjadi malam panjang penuh hela nafas dari seorang lelaki "sehat" .

Aku hanya terjaga sambil menahan nafsu. Aku tak ingin melakukan hal pertama yang akan Ivy lupakan. Itu motivasiku.

Aku mengambil pakaian Ivy, mencucinya. Aku akan mengatakan dia habis muntah. Sebagai alasan. Supaya dia bisa tinggal lebih lama di pagi hari.

Pagi tiba, dan aku masi terjaga. Memikirkan apa yang perlu kukatakan saat dia bangun nanti. Haruskah aku jujur, atau 50 persen jujur saja cukup. Aku tidak tahu.

Aku mengintip Ivy, mendapati dia membuka mata. Kebingungan.

" Ivy, kau sudah bangun ? " tanyaku. Basa basi.

" Oh, bagaimana aku bisa sampai sini? " dia balik bertanya.

" Berpakaianlah " jawabku singkat.

Aku memutar otak lebih cepat untuk menentukan kalimat yang harus ku katakan. Supaya dia tidak malu, supaya akhir dari penjelasanku memberi hasil baik untuk hubungan kami.

" Warren, apa yang harus ku pakai? Di mana bajuku? " tanya Ivy

" Bajunya ku cuci, kotor bekas muntah. Kau bisa pilih salah satu yang ada di lemari ku. " jawabku. Sesuai rencana. Bagus ini terasa natural.

Ivy keluar dengan T shirt gombrong dan celana santaiku. Aku berfantasi punya pacar yang menginap. Berfantasi akankah lebih sexy bila dia memakai kemejaku dan tentunya tanpa bawahan. Namun, untuk saat ini pemandangan ini sudah cukup enak dilihat.

" Bisa kita bahas apa yang terjadi kemarin ? " tanyanya kikuk, malu - malu. Aku gugup. Harus mulai darimana.

2 cup mi instant dan telur setengah matang yang kubuat menjadi tanda awal penjelasan dimulai.

" Kamu tidak ingat ? " tanyaku.

Ivy menggeleng. Aku menghela nafas. Lega, karena aku tidak melakukan apa - apa. Akan terasa sakit bila semalam terjadi sesuatu.

" Sepertinya aku akan mulai dari awal " jawabku.

                         ***********

Aku menuntut jawaban, karena benar - benar tidak tahu apa yang terjadi. Kuatir apa yang telah terjadi dan kuatir atas pandangan Warren terhadapku. Tapi sebenarnya itu semua tidak penting. Yang aku mau sebenarnya adalah kabur dari sini.

Kami baru mengenal 1 semester. Hanya teman main. Bukan pacar. Tapi aku sudah menginap terlebih lagi telanjang.

Reputasi ku bisa jadi buruk. Bagaimana kalau ternyata dia jadi menilaiku rendah? Bagaimana kalau ternyata kami sudah melakukannya? Bukankah itu hal tabu? Apakah aku akan hamil? Bagaimana kalau ternyata Warren bukan laki - laki yang baik? Dia bisa saja menyebar rumor tentang kami.

" Aku ingat sedang di klub. Mungkin mabuk. Aku kalah tantangan terus. Aku ingat kau membawaku keluar " pernyataanku, melewati adegan ciuman kami. Terlalu malu untuk membahasnya. Gengsi wanita. Masa wanita yang agresif duluan?

Berdasarkan ceritanya. Aku memang mabuk, lalu menciumnya karena Dare. Lalu kami sampai di sini karena tidak tahu alamat ku. Aku telanjang karena bajuku kotor. Kami tidak melakukan apa - apa.

" Tapi kenapa sampai semuanya terlepas ? "  tanyaku.

" Ah, itu. " matanya teralih dari mataku dan dia gugup. Pertanda dia menyembunyikan sesuatu.

" Kita melakukannya, kan ? " tanyaku. Spontan aku meneteskan air mata.

Dia semakin salah tingkah. Pertanda dia pria baikkah? pikirku.

" Tidak, tentu saja tidak. Kalau kita melakukannya pasti ada darah kan? Kata mu ini pertama kali. " ucapnya. Keceplosan. Dan spontan dia menutup mulutnya. Terbongkar kalau dia tidak menceritakan sesuatu.

Aku menangis semakin keras, wajahku panas karena malu. Warren panik.

" BUKAN, BUKAN. Aduh, bagaimana ya. Ugh, kemarin malam kau memang menggodaku. Aku juga menggoda, maksudku tergoda. Kita cukup panas dan memang hampir terjadi. Tapi kamu tidur dan aku mau menghargai dirimu. Sumpah. Tidak terjadi apa - apa. " jelasnya.

Namun aku hanya berfokus pada kata aku menggodanya. Bukannya tenang, aku makin malu. Aku mendadak berdiri dan bangkuku tergeser hingga jatuh.

" Aku mau pulang. " ucapku. Lari ke depan pintu. Warren menahan, menggenggam tanganku, menarikku kedalam pelukannya.

" Jangan, jangan pikirkan apa - apa. Semua itu hasil dari perasaan sukamu padaku. Kau menyatakannya kemarin. Itu benarkan? " tanyanya. Masih sambil memelukku.

Aku mengangguk. Dia merasakan anggukkanku di dadanya.

" Aku juga suka padamu. "

Aku melepas diri dari pelukannya. Mataku merah dan berkaca - kaca. Menatap matanya. " Benar ? " tanyaku memastikan.

Warren tersenyum dan bertanya " Bisakah ini jadi hari pertama kita ? "

Aku mengangguk lagi. Juga sambil tersenyum. Rasa malu masih ada, tapi aku ingin menjalani momen ini.

Warren menunduk, mempertemukan bibir kami. Kami berciuman lagi. Di depan pintu masuk. Ditemani suara mesin cuci serta mi cup kami yang sudah dingin dan mengembang.

Tapi kami hanya menikmati ciuman kami.

                                 END